By Dwijo Suyono
JOURNALJOGJA-Bantul - Industri tembakau dan kebijakan terkait kawasan tanpa rokok (KTR) terus menjadi sorotan di berbagai daerah, termasuk Bantul. Impor tembakau menjadi salah satu isu krusial yang dihadapi oleh sektor ini.
Arief Kurnia, akademisi dari Universitas Proklamasi 45 (UP 45), mengungkapkan bahwa pendapatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dari sektor rokok mengalami penurunan drastis, mencapai 280 triliun rupiah. Di sisi lain, sektor lain justru mencatatkan kenaikan pendapatan hingga 300 triliun.
Arief menyoroti beban cukai yang tinggi pada industri rokok, yang mencapai sekitar 68 persen dari harga sebatang rokok. "Sebatang rokok seharga Rp2.000, dengan sekitar Rp1.300 disetorkan kepada negara," jelasnya dalam diskusi yang digelar di Waroeng Omah Sawah, Sewon, Bantul, Sabtu, 5 Oktober 2024.
Sementara itu, rokok lintingan tradisional yang banyak digemari masyarakat, tidak dikenakan cukai. Di balik semua ini, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2023 dan Permenkes hanya melihat satu aspek dari industri ini, yaitu kesehatan, tanpa mempertimbangkan dampak ekonominya yang luas.
Kebijakan KTR juga berdampak pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sektor pariwisata. Menurut Arief, seringkali sulit untuk mencapai kesepakatan dalam diskusi antara pihak-pihak yang mengedepankan konsep "Kota Layak Anak" dan kebutuhan industri serta pariwisata. Standar kemasan polos yang diwajibkan oleh regulasi dianggap menekan kreativitas pelaku industri tembakau.
Arief berharap agar Peraturan Daerah (Perda) KTR dapat disempurnakan. "Perda KTR harus mengakomodasi tidak hanya aspek kesehatan, tetapi juga sektor wisata, sosial, dan ekonomi," ujarnya. Baginya, keseimbangan antara perlindungan kesehatan dan pertumbuhan ekonomi lokal sangat penting untuk membangun Bantul yang lebih baik.
Sektor tembakau memiliki potensi besar sebagai daya tarik wisata kreatif. "Pemimpin harus berpihak dan memiliki visi yang lebih luas. Misalnya, industri kretek tidak hanya dilihat dari segi produksinya, tetapi juga bisa menjadi wisata edukasi, seperti pabrik tembakau atau kebun tembakau," kata Arief. Ia meyakini bahwa industri ini bisa memberikan nilai tambah bagi pariwisata Bantul, dengan menjadikannya destinasi wisata edukasi berbasis industri tembakau.
Calon Bupati Joko B Purnomo mengatakan, bahwa regulasi yang berpihak pada kepentingan petani tembakau perlu diperkuat. "Dari 280 hektare lahan tembakau di Bantul, mampu diproduksi 1.200 ton tembakau per tahun. Banyak contoh di Temanggung, di mana para sarjana dan pejabat tinggi dibiayai oleh hasil dari tembakau," jelas Joko.
"Ini menunjukkan bahwa tembakau memiliki peran penting dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat, terutama dalam sektor pendidikan," ungkap Joko.
Joko menekankan bahwa setiap regulasi, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah, harus didasarkan pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Ia mengkritik kebijakan yang hanya mementingkan aspek politik atau ekonomi semata, tanpa memperhatikan dampak sosial.
"Aturan itu harus mengatur hak dan kewajiban masyarakat dengan adil. Jika masyarakat merasa dirugikan oleh suatu aturan, maka aturan tersebut perlu direvisi. Regulasi yang baik harus harmonis dengan realitas di lapangan," jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah harus terbuka terhadap masukan dari masyarakat untuk mengevaluasi kebijakan, terutama yang berkaitan dengan sektor tembakau.
Joko menyoroti bahwa pemerintah daerah memiliki kesempatan besar untuk mendapatkan pendapatan dari cukai tembakau. Di Bantul, terdapat tiga pabrik rokok yang mempekerjakan sekitar 2.500 karyawan. Pendapatan daerah dari sektor ini sangat signifikan dan dapat digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan.
"Pemerintah seharusnya tidak hanya mengambil keuntungan dari cukai tembakau, tetapi juga mendampingi industri ini dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan membentuk koperasi bagi karyawan pabrik rokok, sehingga ada simbiosis mutualisme antara pemerintah dan pekerja," sarannya.
Lebih lanjut Joko mengungkapkan, meskipun mendukung adanya Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat-tempat seperti rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, dan SPBU, Joko menekankan bahwa kebijakan tersebut harus realistis. Ia mengkritik pelarangan total iklan rokok yang, menurutnya, tetap mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata dan industri.
"Dalam kenyataannya, kita masih melihat banyak baliho iklan rokok di jalan-jalan utama di Bantul, Kulon Progo, Sleman, dan Yogyakarta. Itu adalah sumber PAD yang besar, dan ini menunjukkan bahwa regulasi harus seimbang antara melindungi kesehatan dan mendukung perekonomian," ujarnya.
Joko menyimpulkan bahwa Bantul sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur KTR, sehingga penerapan peraturan tidak perlu merugikan masyarakat. "Cukup dengan peraturan bupati (Perbup), kita bisa menegakkan aturan tanpa menekan kreativitas dan potensi daerah," pungkasnya. (*)