By Dwijo Suyono
JOURNALJOGJA-Yogyakarta Pimpinan Daerah Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman-Serikat Pekerja Seluruh Indoneisa Daerah Istimewa Yogyakarta (PD FSP RTMM-SPSI DIY) melakukan protes keras kepada pemerintah terkait RPP Kesehatan , hal tersebut dilakukan karena dirasakan sangat merugikan kaum pekerja dan ekosistem pertembakauan .
Waljid Budi Lestariyanto selaku ketua PD FSP RTMM-SPSI DIY mengemukakan bahwa
PD FSP RTMM-SPSI DIY memiliki anggota sebanyak 5.250 orang pekerja di sektor industri hasil tembakau dan industri makanan-minuman yang berada di 5 Pimpinan Unit Kerja ( PUK ) dan tersebar di Kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Disampaikan pula bahwa pihaknya bermaksud menyampaikan kekhawatiran dan keberatan atas Rancangan Peraturan Pemerintah ( RPP) kesehatan tentang pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau sebagaimana mandat dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023.
"Hal tersebut menjadi ancaman besar terhadap keberlangsungan Stakeholders Pertembakauan di Indonesia, termasuk Pekerja/Buruh Pabrik Rokok di Indonesia," ujarnya, Selasa, 26 September 2023.
Menurut Waljid, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tersebut memuat pasal-pasal yang dirasa tidak adil dan merenggut hak asasi manusia.
"Selain itu kami merasa keberatan dengan pemusatan kewenangan pengaturan industri hasil tembakau kepada Kementrian Kesehatan Republik Indonesia," katanya.
Keberadaan pasal-pasal terkait produk tembakau dalam RPP Kesehatan tersebut, lanjut Waljid menjadi jalan masuk dan justifikasi hukum untuk mendorong regulasi industri hasil tembakau yang lebih ketat dan eksesif.
"RPP Kesehatan saat ini berpotensi mematikan usaha industri hasil tembakau yang merupakan sawah ladang penghidupan anggota kami," tegasnya.
"RPP Kesehatan dapat mengacam ribuan anggota kami yang bekerja di industri hasil tembakau karena akan banyak pembatasan terkait peredaran produk hasil tembakau, yang berpotensi dapat menurunkan serapan pasar produk hasil tembakau," tambah Waljid.
Dia menilai hal ini berpotensi menurunkan kesejahteraan anggotanya yang mayoritas adalah pekerja Sigaret Kretek Tangan (SKT) yang merupakan sektor padat karya dalam industri hasil tembakau.
"Sektor padat karya menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan memberikan kontribusi yang substansial kepada perekonomian daerah maupun nasional," katanya.
"Selain ikut berperan dalam menggerakan perekonomian daerah, kehadiran Industri Hasil tembakau juga turut berperan aktif dalam mengurangi angka Pengangguran," katanya.
"Bekerja pada industri hasil tembakau merupakan kebanggaan bagi anggota kami karena hal tersebut merupakan sumber penghasilan yang halal dan legal," imbuhnya.
Dijelaskan Waljid, mayoritas anggotanya yang bekerja di sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT) adalah perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. dan dari Fakta yang ada bahwa saat ini tbelum ada lapangan kerja yang mampu menyerap ribuan tenaga kerja dengan pendidikan terbatas selain industri hasil tembakau sektor Sigaret Kretek Tangan (SKT)," katanya.
Waljid menggambarkan, bahwa tantangan saat ini dan kedepan Industri Rokok yang berdampak kepada anggotanya akan semakin berat sebagaimana tertuang dalam draft RPP Kesehatan pasal 435 – 460 :
1. Terkait pengecualian larangan kegiatan menjual Produk Tembakau dan rokok elektronik pada tempat penjualan tidak tertuang dalam RPP Kesehatan.
2. Terkait pengecualian larangan kegiatan memproduksi Produk Tembakau dan rokok elektronik tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan produksi tidak tertuang dalam RPP Kesehatan.
3. Pelarangan total Sponsorship
4. Pelarangan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan untuk disiarkan pada media.
5. Pelarangan total iklan dan promosi di media luar ruangan dan seluruh jasa situs atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
6. Iklan dan promosi pada media penyiaran seperti televisi hanya diperbolehkan pada pukul 23.00 – 03.00
7. Larangan total pemajangan rokok di semua tempat, termasuk lokasi penjualan.
8. Kewajiban kemasan minimal 20 batang untuk semua jenis segmen rokok dan peringatan kesehatan, serta desain tulisan yang akan diatur lebih lanjut oleh Kementerian Kesehatan.
Dalam hal tersebut pihaknya meminta kepada pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementrian Kesehatan RI untuk tidak melanjutkan pembahasan pasal terkait pengaturan zat adiktif di dalam RPP Kesehatan.
Kami mohon agar pasal terkait zat adiktif dilakukan secara terpisah dengan mempertimbangan segala aspek, sebagaimana amanat UU Kesehatan no 17 tahun 2023 pasal 152 ayat 1 yang berbunyi, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau diatur oleh peraturan pemerintah”.
Maka mengingat dampak besar kebijakan tersebut termasuk pada penerimaan negara dan serapan tenaga kerja maka sebaiknya peraturan tentang pengaturan zat adiktif dapat diatur tersendiri. (*)